Layanan Berita Ekspres
MADURAI: Selain kelelahan, nyeri sendi, dan masalah pernapasan, Covid-19 membawa efek samping lain yang sama sekali tidak terduga, yaitu pernikahan anak.
Data Departemen Kesejahteraan Sosial menunjukkan adanya tren peningkatan jumlah anak perempuan di bawah umur yang menikah pada masa pandemi dibandingkan pada masa sebelum Covid-19. Sumber menyebutkan, di Kabupaten Madurai saja, sejak Januari 2020 hingga saat ini tercatat sebanyak 276 peristiwa perkawinan anak, dan di antaranya tercatat ada 29 kasus FIR. “Hal ini sangat kontras dengan 87 insiden pernikahan anak dan empat FIR yang dilaporkan pada tahun 2019,” kata mereka.
Sementara itu, para aktivis hak anak berpendapat bahwa data yang tersedia dari pemerintah tidak komprehensif karena hanya mencakup kasus-kasus yang dilaporkan dan upaya orang tua atau anggota keluarga untuk menikahi anak perempuan di bawah umur. “Ada banyak kasus pernikahan anak yang tidak dilaporkan dan jumlah pastinya setidaknya empat kali lebih tinggi,” kata mereka.
Menguatkan keraguan para aktivis, kepala sekolah negeri di distrik tersebut mengatakan lebih dari lima anak perempuan dari Kelas IX hingga XII di sekolah tersebut menikah selama pandemi dan beberapa dari mereka kini sedang hamil. “Meski kami tahu kenyataannya, kami tidak bisa mengajukan pengaduan karena kami tidak suka melawan warga desa. Terlebih lagi, pernikahan tersebut dilakukan dengan sepengetahuan penyuluh departemen kesejahteraan sosial dan perwakilan panchayat terpilih,” dia dikatakan.
Lebih lanjut ia meminta pemerintah mengeluarkan arahan kepada kepala sekolah untuk meminta laporan mengenai lama ketidakhadiran tersebut sehingga dapat diketahui jumlah pasti anak perempuan di bawah umur yang menikah. “Nama-nama yang absen lama hanya akan dihapus dari (Sistem Informasi Manajemen Pendidikan) EMIS jika siswanya mendapat surat keterangan pindah dari sekolah,” imbuhnya.
Berbicara kepada TNIE, direktur Thozhamai, sebuah LSM yang bekerja untuk hak-hak anak, A Devaneyan mendesak pemerintah untuk segera menerapkan Kebijakan Anak 2021. “Pencarian pernikahan anak yang tidak dilaporkan adalah hal yang wajib dilakukan. Setelah mengidentifikasi pernikahan anak yang tidak dilaporkan, anak perempuan harus dihimbau untuk tetap tinggal bersama orang tuanya. Kesadaran, pemantauan dan perubahan pola pikir adalah kebutuhan saat ini,” katanya.
Menganggap kasus perkawinan anak sebagai aib nasional, Devanayan mendesak pemerintah untuk menunjuk petugas pelarangan perkawinan anak tersendiri di bawah departemen pertahanan sosial.
Pejabat Kesejahteraan Sosial Kabupaten (penanggung jawab) Koperumdevi mengatakan dibandingkan dengan kabupaten lain, lebih banyak pernikahan anak yang berhasil dihentikan di Madurai. “Kemiskinan dan perselingkuhan menjadi penyebab utama perkawinan anak. Kasus perkawinan anak dilaporkan semakin meningkat di kalangan siswa yang belajar di sekolah negeri di pedesaan Thirumangalam, Usilampatti, Sedapatti dan Chellampatti. Di antara korporasi, Sellur memiliki jumlah siswa terbanyak. dari sekolah negeri, bantuan pemerintah, dan swasta yang akan menikah,” ujarnya.
Berbicara kepada TNIE, Kolektor S Aneesh Shekhar mengatakan pemerintah kabupaten secara ketat menerapkan Undang-Undang Larangan Pernikahan Anak dan terus-menerus menyebarkan kesadaran di kalangan anak-anak dan orang tua tentang dampak sosial, fisik dan ekonomi dari pernikahan tersebut.
Ikuti saluran The New Indian Express di WhatsApp
MADURAI: Selain kelelahan, nyeri sendi, dan masalah pernapasan, Covid-19 membawa efek samping lain yang sama sekali tidak terduga, yaitu pernikahan anak. Data Departemen Kesejahteraan Sosial menunjukkan adanya tren peningkatan jumlah anak perempuan di bawah umur yang menikah pada masa pandemi dibandingkan pada masa sebelum Covid-19. Sumber menyebutkan, di Kabupaten Madurai saja, sejak Januari 2020 hingga saat ini tercatat sebanyak 276 peristiwa perkawinan anak, dan di antaranya tercatat ada 29 kasus FIR. “Hal ini sangat kontras dengan 87 insiden pernikahan anak dan empat FIR yang dilaporkan pada tahun 2019,” kata mereka. Sementara itu, para aktivis hak anak berpendapat bahwa data yang tersedia dari pemerintah tidak komprehensif karena hanya mencakup kasus-kasus yang dilaporkan dan upaya orang tua atau anggota keluarga untuk menikahi anak perempuan di bawah umur. “Ada banyak kasus pernikahan anak yang tidak dilaporkan dan jumlah pastinya setidaknya empat kali lebih tinggi,” kata mereka. googletag.cmd.push(fungsi() googletag.display(‘div-gpt-ad-8052921-2’); ); Menguatkan keraguan para aktivis, kepala sekolah negeri di distrik tersebut mengatakan lebih dari lima anak perempuan dari Kelas IX hingga XII di sekolah tersebut menikah selama pandemi dan beberapa dari mereka kini sedang hamil. “Meski kami tahu kenyataannya, kami tidak bisa mengajukan pengaduan karena kami tidak suka melawan warga desa. Terlebih lagi, pernikahan tersebut dilakukan dengan sepengetahuan penyuluh departemen kesejahteraan sosial dan perwakilan panchayat terpilih,” dia dikatakan. Lebih lanjut ia meminta pemerintah mengeluarkan arahan kepada kepala sekolah untuk meminta laporan mengenai lama ketidakhadiran tersebut sehingga dapat diketahui jumlah pasti anak perempuan di bawah umur yang menikah. “Nama-nama yang absen lama hanya akan dihapus dari (Sistem Informasi Manajemen Pendidikan) EMIS jika siswanya mendapat surat keterangan pindah dari sekolah,” imbuhnya. Berbicara kepada TNIE, direktur Thozhamai, sebuah LSM yang bekerja untuk hak-hak anak, A Devaneyan mendesak pemerintah untuk segera menerapkan Kebijakan Anak 2021. “Pencarian pernikahan anak yang tidak dilaporkan adalah hal yang wajib dilakukan. Setelah mengidentifikasi pernikahan anak yang tidak dilaporkan, anak perempuan harus dihimbau untuk tetap tinggal bersama orang tuanya. Kesadaran, pemantauan dan perubahan pola pikir adalah kebutuhan saat ini,” ujarnya. Menganggap kasus perkawinan anak sebagai aib nasional, Devanayan mendesak pemerintah untuk menunjuk petugas pelarangan perkawinan anak tersendiri di bawah departemen pertahanan sosial. Pejabat Kesejahteraan Sosial Kabupaten (penanggung jawab) Koperumdevi mengatakan dibandingkan dengan kabupaten lain, lebih banyak pernikahan anak yang berhasil dihentikan di Madurai. “Kemiskinan dan perselingkuhan menjadi penyebab utama perkawinan anak. Kasus perkawinan anak dilaporkan semakin meningkat di kalangan siswa yang belajar di sekolah negeri di pedesaan Thirumangalam, Usilampatti, Sedapatti dan Chellampatti. Di antara korporasi, Sellur memiliki jumlah siswa terbanyak. dari sekolah negeri, sekolah bantuan pemerintah dan swasta yang menikah,” katanya. Berbicara kepada TNIE, Kolektor S Aneesh Shekhar mengatakan pemerintah kabupaten secara ketat menerapkan Undang-Undang Larangan Pernikahan Anak dan terus-menerus menyebarkan kesadaran di kalangan anak-anak dan orang tua tentang masalah sosial, fisik, dan sosial. dan dampak ekonomi dari pernikahan tersebut. Ikuti saluran The New Indian Express di WhatsApp